Ads 468x60px

Pages

Minggu, 19 Juni 2011

STUDI DESKRIPTIF KARAKTERISTIK DAN KECEMASAN WANITA DENGAN KANKER SERVIKS

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hak atas kesehatan reproduksi dijamin melalui serangkaian konvensi internasional yang juga ditandatangani Pemerintah Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Hak atas kesehatan reproduksi juga dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, yang menyebutkan bahwa kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia.
Salah satu upaya pembangunan bidang kesehatan tersebut diwujudkan dalam usaha untuk meningkatkan derajad kesehatan para ibu karena banyaknya kasus-kasus penyakit yang terjadi pada wanita, terutama mengenai masalah yang menyangkut organ-organ reproduksi. Salah satu masalah yang sering terjadi pada wanita baik di negara Eropa maupun negara berkembang seperti Indonesia adalah peningkatan penyakit kanker serviks. (Miraz, 2010).
Kejadian kanker leher rahim secara global menduduki urutan kedua setelah kanker payudara, insidensi tiap tahun sekitar 500.000 dan kematian sebanyak 288.000 orang. Di Jawa Tengah dari tahun ke tahun jumlah penderita karsinoma serviks uteri cenderung meningkat. Kasus terbanyak karsinoma serviks uteri adalah di kota xxx yaitu sebesar 615 kasus (30,20%) dibandingkan dengan jumlah keseluruhan karsinoma serviks uteri di kabupaten atau di kota lain di Jawa Tengah (Depkes RI, 2005).
Data yang diperoleh dari RSUP XXX yang merupakan tempat rujukan kasus kanker serviks uteri di Jawa Tengah karena memiliki teknologi yang lebih canggih untuk menangani kasus kanker serviks uteri dibandingkan rumah sakit lainnya dan merupakan rumah sakit tipe A didapatkan angka kejadian kanker serviks uteri di bangsal ginekologi RSUP XXX pada tahun 2006 terdapat 416 (27.97%) kasus kanker serviks uteri dari jumlah 1487 kasus ginekologi dan tahun 2007 terdapat 554 kasus kanker serviks uteri dan menempati urutan pertama dari penyakit keganasan. Data ini menunjukkan bahwa pada tahun 2007 mengalami kenaikan sebesar 25% dari sebelumnya. Jumlah penderita kanker serviks dipoli K.224 RSUP XXX pada tahun 2008 adalah 3861 orang, sedangkan pada tahun 2009, jumlah penderita kanker serviks dipoli K.244 RSUP XXX adalah 4827. Hal ini menunjukkan adanya kenaikan 25% dari tahun 2008 ke 2009. (Laporan tahunan RSDK, 2009).
Beberapa faktor yang diduga meningkatkan kejadian kanker leher rahim yaitu faktor sosiodemografis yang meliputi usia, status sosial ekonomi, dan faktor aktifitas seksual yang meliputi usia pertama kali melakukan hubungan seks, pasangan seks yang berganti-ganti, paritas, kurang menjaga kebersihan genital. Sebuah penelitian multisenter oleh IARC mendapatkan paritas lebih atau sama dengan 7 risiko kanker serviks meningkat 4 kali dibandingkan nullipara. Kanker leher rahim meningkat sejak usia 25-34 tahun dan menunjukkan puncaknya pada usia 35-44 tahun ((Diananda, 2007).
Akibat kanker serviks akan menimbulkan masalah, terutama masalah akan timbul pada kesakitan, penderitaan, kematian financial dan ekonomi, masalah pada lingkungan kehidupan dan masalah pada pemerintah. Maka pentingnya penanggulangan kanker serviks secara menyeluruh dan terintegrasi (Faizal Yatim, 2005). Dampak reaksi psikologis yang ditimbulkan dari masalah lingkungan kehidupan menimbulkan reaksi yang sangat beragam, namun ada enam reaksi psikologis yang utama, yaitu kecemasan, depresi, perasaan kehilangan control, gangguan kognitif atau status mental (impairment), gangguan seksual serta penolakan terhadap kenyataan (denial). Gambaran psikologis pasien yang datang pada pemeriksaan medis menunjukan tingginya tingkat kecemasan, rasa marah, dan keterasingan (majalah farmasia, 2008).
Gangguan psikologi seperti depresi, kecemasan, kemarahan, perasaan tidak berdaya dan tidak berharga dialami antara 23%-66% pasien kanker. Diperkiraan saat ini ada sekitar 25% pasien kanker yang mengalami depresi berat. Banyak penelitian juga menunjukan pasien kanker mengalami masalah depresi yang berat (Affandi, 2008).
Psikologi yang berkaitan dengan diagnosis kanker sering kali tidak ditegakan oleh petugas medis sampai pada suatu saat mencapai keadaan kritis yang jelas terlihat baru kemudian dilakukan rujukan kepada bagian psikiatri dan keadaan pasien biasanya kritis biasanya sudah menjadi sangat depresif, cemas dan mungkin juga sampai pada suatu keinginan untuk bunuh diri. Psikologis yang kompleks dapat menjadi pemicu munculnya kondisi yang menekan atau stres pada diri klien. Penanganan Psikologis (misalnya penanganan stres) sangat baik dilakukan pada masa dini, karena melalui penanganan tersebut diharapkan klien akan cepat merasa tenang, terlepas dari kondisi stress dan perasaan tertekan, sehingga diharapkan klien dapat memperoleh prognosis yang lebih baik (Diar, 2009).
Berdasarkan penelitian terhadap tingkat kecemasan wanita dengan kanker serviks yang dilakukan di RSUP XXX pada Oktober sampai Desember 2005 oleh Siwi Indriatmi maka didapat hasil bahwa wanita yang menderita kanker serviks yang mengalami cemas ringan 30,30%, cemas sedang 69,69%, cemas berat dan berat sekali 0%. Data yang diperoleh dari 45 respondent didapatkan hasil bahwa wanita yang menderita kanker serviks pada stadium II yang mengalami cemas ringan sejumlah 2 orang (60,60%), pada wanita yang menderita kanker serviks pada stadium III yang mengalami cemas ringan sejumlah 7 orang (21,21%), cemas sedang sejumlah 34 orang (66 %), sedangkan wanita yang menderita kanker serviks pada stadium IV yang mengalami cemas ringan sejumlah 1 orang (3,03%), cemas sedang sejumlah 1 orang (3,03%).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di RSUP XXX, peneliti melakukan wawancara kepada 20 responden. Dengan masing-masing responden memiliki tingkat kecemasan yang berbeda-beda. Didapatkan hasil bahwa, wanita yang menderita kanker serviks yang mengalami cemas ringan sejumlah 11 orang (55%), cemas sedang sejumlah 7 orang (35%), cemas berat sejumlah 2 orang (10%). Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang gambaran kecemasan wanita dengan kanker serviks di RSUP Dr. Kariadi Semarang.
B. RUMUSAN MASALAH
Gangguan psikologi yang dialami wanita yang menderita kanker serviks seperti depresi, kecemasan, kemarahan, perasaan tidak berdaya dan tidak berharga dialami antara 23%-66% pasien kanker. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada 20 responden yang menderita kanker serviks dipoli K224 RSUP XXX Didapatkan hasil bahwa, wanita yang menderita kanker serviks yang mengalami cemas ringan sejumlah 11 orang (55%), cemas sedang sejumlah 7 orang (35%), cemas berat sejumlah 2 orang (10%). Berdasarkan hal tersebut rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran karakteristik dan kecemasan wanita dengan kanker serviks di RSUP XXX ?”.

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran karakteristik dan kecemasan wanita dengan kanker serviks di RSUP XXX.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan karakteristik wanita dengan kanker serviks yang meliputi umur, paritas, pendidikan dan pekerjaan di RSUP XXX
b. Mendeskripsikan kecemasan wanita dengan kanker serviks di RSUP XXX



D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi penderita kanker serviks
Diharapkan dengan penelitian ini, penderita kanker serviks dapat mengurangi tingkat kecemasan yang ada pada dirinya dengan cara tidak membatasi kecacatan dan menimbulkan motivasi untuk hidup yang lebih berguna yang bisa membantu berserah diri pada tuhan Yang Maha Esa.
2. Bagi bidan
Diharapkan dapat memberi penanganan psikologis (misalnya penanganan stres) dilakukan pada masa dini, karena melalui penanganan tersebut diharapkan klien akan cepat merasa tenang,terlepas dari kondisi stress dan perasaan tertekan, sehingga dengan demikian diharapkan klien dapat memperoleh prognosis yang lebih baik.
3. Bagi RSUP XXX
Sebagai sarana agar penanggulangan kanker serviks dapat dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi bukan hanya dari segi fisik tapi psikologis juga.
4. Bagi peneliti
Dapat menberi sumbangan pemikiran bahwa dalam pengelolaan pasien dengan kanker servik harus dilakukan secara menyeluruh baik secara fisik maupun psikologi,sehingga diharapkan setelah terjun di masyarakat, penanganan ini dapat dilakukan.
5. Bagi peneliti lain
Sebagai sumber referensi dan bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya yang berbeda.
E. KEASLIAN PENELITIAN
No Nama Judul Metode penelitian Hasil penelitian
1 Siwi Indriatmi Studi deskriptif kecemasan wanita dengan Ca Serviks di G3 Ginekologi RSUP xxx Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan wanita dengan karsinoma serviks uteri pada bulan Oktober - Desember 2005 di RSUP xxx. Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Populasi penelitian ini adalah wanita dengan ca servix uteri. Teknik samping yang digunakan yaitu sampling jenuh yaitu keseluruhan populasi dijadikan sampel. Instrumen penelitian adalah kuesioner Hasil yang didapatkan kecemasan sedang ibu pada Ca servix uteri menempati skor tertinggi yaitu 66,69%, ada 10 orang (30,30%) dengan klarifikasi : pada stadium II yang mengalami cemas ringan sejumlah 2 orang (60,60%), pada wanita yang menderita kanker serviks pada stadium III yang mengalami cemas ringan sejumlah 7 orang (21,21%), cemas sedang sejumlah 34 orang (66 %), sedangkan wanita yang menderita kanker serviks pada stadium IV yang mengalami cemas ringan sejumlah 1 orang (3,03%), cemas sedang sejumlah 1 orang (3,03%),

Penelitian yang dilakukan oleh xxx dengan judul Studi deskriptif wanita dengan kanker serviks di RSUP xxx. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat kecemasan wanita dengan kanker serviks. Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Populasi penelitian ini adalah wanita dengan kanker serviks di RSUP xxxx. Teknik sampling yang digunakan adalah accidental Sampling. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Bedanya dengan penelitian yang saya lakukan adalah saya tidak meneliti kecemasan berdasarkan stadiumnya.
Selengkapnya...

Selasa, 14 Juni 2011

GAMBARAN PENGETAHUAN IBU-IBU HAMIL TENTANG IMUNISASI TETANUS TOXOID (TT) DAN TINDAKAN PENGAMBILAN IMUNISASI TT DI POLIKLINIK IBU HAMIL RSUP XXXXX

NEW KTI 2011 HUBUNGI HABIB 085741504438

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada tahun 2000, The United Nations Children's Fund (UNICEF), World Health Organization (WHO), dan United Nation Population Fund (UNFPA) telah mengenal pasti terdapat 57 negara perlu mengeliminasi kejadian tetanus neonatorum di negara mereka; salah satunya adalah Indonesia (WHO, 2010). WHO mengestimasikan 59.000 neonatus seluruh dunia mati akibat tetanus neonatorum. Oleh itu, UNICEF, WHO dan UNFPA setuju mengulur eliminasi hingga 2005. Target eliminasi tetanus neonatorum adalah satu kasus per seribu kelahiran di masing-masing wilayah dari setiap Negara.
Pada tahun 2007, Filipina dan Indonesia mencatatkan jumlah kasus tetanus neonatorum tertinggi di antara 8 buah negara ASEAN. Jumlah penderita di kedua-dua negara tersebut melebihi 100 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, angka tertinggi kasus tetanus neonatorum terjadi di Kemboja; Indonesia menduduki urutan ke-5. Jumlah kasus tetanus neonatorum di Indonesia pada tahun 2003 sebanyak 175 kasus dengan angka kematian (case fatality rate(CFR)) 56% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI), 2008).
Pada tahun 2000, Pemerintah Indonesia telah bersetuju mengikuti kesepakatan internasional (Global Commitment) untuk menurunkan insiden kematian bayi akibat tetanus neonatorum dengan Program Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN). Untuk mempercepatkan pencapaian ETN di Indonesia, imunisasi tenatus toxoid (TT) telah diberikan kepada wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil di daerah yang berisiko tinggi dengan kejadian tetanus neonatorum yang telah dikenal pasti sejak tahun 1996. Upaya akselerasi eliminasi tetanus neonatorum ditargetkan dapat menurunkan inseden tetanus neonatorum hingga kurang 1 per 1000 kelahiran hidup per tahun pada tahun 2005. Namun, sampai sekarang kejadian tetanus neonatorum masih tidak dapat diatasi (Depkes RI, 2000).
Walaupun program telah dilaksanakan, jangkauan imunisasi TT bagi ibu hamil masih jauh dari harapan. Terbukti, dari 356.231 estimasi ibu hamil pada tahun 2009 di Sumatera Utara, ternyata hanya 57.804 ibu hamil mendapat imunisasi TT1 dan 49.992 ibu hamil mendapat imunisasi TT2. Antara faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya jangkauan imunisasi TT adalah kurangnya kegiatan promisi kesehatan di Puskesmas serta rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap imunisasi TT walaupun imunisasi tersebut dapat diperoleh secara gratis di tempat pelayanan kesehatan pemerintah (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL), 2009).

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperlukan satu penelitian yaitu, “Bagaimanakah gambaran pengetahuan ibu-ibu hamil dan tentang imunisasi TT dan tindakan pengambilan imunisasi TT di poliklinik ibu hamil RSUP. XXXX?”.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu-ibu hamil tentang imunisasi TT dan tindakan pengambilan imunisasi TT di poliklinik ibu hamil RSUP. xxxxxx.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi TT berdasarkan usia kehamilan yang datang ke poiliklinik RSUP. xxxxxxxxxxx.
2. Mengetahui tingkat pengetahuan ibu-ibu hamil mengenai manfaat imunisasi TT.
3. Mengetahui tindakan ibu-ibu hamil tentang pengambilan imunisasi TT berdasarkan usia kehamilan.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi kepada Dinas Kesehatan Kota xxx sebagai strategi penyuluhan terhadap ibu-ibu hamil mengenai kepentingan imunisasi TT.
2. Sebagai bahan masukan kepada peneliti lain mengenai tahap pengetahuan ibu-ibu hamil mengenai imunisasi TT di RSUP. xxxx.
3. Penelitian ini dapat memberi manfaat pada bahagian obstetrik.














BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tetanus Neonatorum
2.1.1. Pengertian
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari (Stoll, 2007). Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani, dengan tanda utama kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran (Ismoedijanto, 2006). Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus yang disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu bakteria yang mengeluarkan toksin (racun) yang menyerang sistem saraf pusat (Saifuddin, 2001).
2.1.2. Etiologi
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikron yang hidup tanpa oksigen (anaerob), dan membentuk spora. Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulat yang letaknya di ujung, dan memberi gambaran penabuh genderang (drum stick) (Bleck, 2000). Spora ini mampu bertahan hidup dalam lingkungan panas, antiseptik, dan di jaringan tubuh. Spora ini juga bisa bertahan hidup beberapa bulan bahkan bertahun. (Ritarwan, 2004). Bakteria yang berbentuk batang ini sering terdapat dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa terkena luka melalui debu atau tanah yang terkontaminasi (Arnon, 2007). Clostridium tetani merupakan bakteria Gram positif dan dapat menghasilkan eksotoksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin) dapat menyebabkan kekejangan pada otot (Suraatmaja, 2000).




2.1.3. Faktor Risiko
Terdapat 5 faktor risiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu:
a. Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan memyebabkan Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita dengan gejala tetanus sering mempunyai riwayat tinggal di lingkungan yang kotor. Penjagaan kebersihan diri dan lingkungan adalah amat penting bukan sahaja dapat mencegah tetanus, malah pelbagai penyakit lain.
b. Faktor Alat Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku di negara-negara berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan pertolongan persalinan masih menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir (WHO, 2008).
c. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan abu dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akan dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril sebagai salah satu ritual untuk menyambut bayi yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang tidak benar ini akan meningkatkan lagi risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum (Chin, 2000).
d. Faktor Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan
Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah sangat penting. Tempat pelayanan persalinan yang tidak bersih bukan sahaja berisiko untuk menimbulkan penyakit pada bayi yang akan dilahirkan, malah pada ibu yang melahirkan. Tempat pelayanan persalinan yang ideal sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril (Abrutyn, 2008).

e. Faktor Kekebalan Ibu Hamil
Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus dapat membantu mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi baru lahir. Antibodi terhadap tetanus dari ibu hamil dapat disalurkan pada bayi melalui darah, seterusnya menurunkan risiko infeksi Clostridium tetani. Sebagian besar bayi yang terkena tetanus neonatorum biasanya lahir dari ibu yang tidak pernah mendapatkan imunisasi TT (Chin, 2000).
2.1.4. Patogenesis
Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril akan memudahkan spora Clostridium tetani masuk dari luka tali pusat dan melepaskan tetanospamin. Tetanospamin akan berikatan dengan reseptor di membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian bergerak melalui sistem transpor aksonal retrograd melalui sel-sel neuron hingga ke medula spinalis dan batang otak, seterusnya menyebabkan gangguan sistim saraf pusat (SSP) dan sistim saraf perifer (Arnon, 2007). Gangguan tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi, yaitu asam aminobutirat gama (GABA) dan glisin, sehingga terjadi epilepsi, yaitu lepasan muatan listrik yang berlebihan dan berterusan, sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dari otak ke bagian-bagian tubuh terganggu (Abrutyn, 2008). Ketegangan otot dapat bermula dari tempat masuk kuman atau pada otot rahang dan leher. Pada saat toksin masuk ke sumsum tulang belakang, kekakuan otot yang lebih berat dapat terjadi. Dijumpai kekakuan ekstremitas, otot-otot dada, perut dan mulai timbul kejang. Sebaik sahaja toksin mencapai korteks serebri, penderita akan mengalami kejang spontan. Pada sistim saraf otonom yang diserang tetanospasmin akan menyebabkan gangguan proses pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, pencernaan, perkemihan, dan pergerakan otot. Kekakuan laring, hipertensi, gangguan irama jantung, berkeringat secara berlebihan (hiperhidrosis) merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom. Kejadian gejala penyulit ini jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala tersebut timbul (Ismoedijanto, 2006).
2.1.5. Gejala Klinis
Neonatus yang terinfeksi Clostridium tetani masih menunjukkan perilaku seperti menangis dan menyusui seperti bayi yang normal pada dua hari yang pertama. Pada hari ke-3, gejala-gejala tetanus mula kelihatan. Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3 – 12 hari, namun dapat mecapai 1 – 2 hari dan kadang-kadang lama melebihi satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, serta interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; semakin jauh tempat invasi, semakin panjang masa inkubasi. Gejala klinis yang sering dijumpai pada tetanus neonatorum adalah:
a. Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga penderita sukar membuka mulut. Kekakuan otot pada leher lebih kuat akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut sedikit ternganga. Kadang-kadang dapat dijumpai mulut mecucu seperti mulut ikan dan kekakuan pada mulut sehingga bayi tak dapat menetek (Chin, 2000).
b. Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi kelihatan mengerut, mata bayi agak tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik ke samping dan ke bawah.
c. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Jika dibiarkan secara berterusan tanpa rawatan, bisa terjadi fraktur tulang vertebra.
d. Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding perut teraba seperti papan. Selain otot dinding perut, otot penyangga rongga dada (toraks) juga menjadi kaku sehingga penderita merasakan kesulitan untuk bernafas atau batuk. Jika kekakuan otot toraks berlangsung lebih dari 5 hari, perlu dicurigai risiko timbulnya perdarahan paru.
e. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan akibat kekakuan yang terus-menerus dari otot laring yang bisa menimbulkan sesak nafas. Efek tetanospamin dapat menyebabkan gangguan denyut jantung seperti kadar denyut jantung menurun (bradikardia), atau kadar denyut jantung meningkat (takikardia). Tetanospasmin juga dapat menyebabkan demam dan hiperhidrosis. Kekakuan otot polos pula dapat menyebabkan anak tidak bisa buang air kecil (retensi urin).
f. Bila kekakuan otot semakin berat, akan timbul kejang-kejang umum yang terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya. Lambat laun, “masa istirahat” kejang semakin pendek sehingga menyebabkan status epileptikus, yaitu bangkitan epilepsi berlangsung terus menerus selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselangi oleh masa sedar; seterusnya bisa menyebabkan kematian (Ningsih, 2007).
2.1.6. Pencegahan
Tindakan pencegahan serta eliminasi tetanus neonatorum adalah bersandarkan pada tindakan menurunkan atau menghilangkan faktor-faktor risiko. Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan. Pemotongan dan perawatan tali pusat wajib menggunakan alat yang steril (WHO, 2006). Pengendalian kebersihan pada tempat pertolongan persalinan perlu dilakukan dengan semaksimal mungkin agar tidak terjadi kontaminasi spora pada saat proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat dilakukan. Praktik 3 Bersih perlu diterapkan, yaitu bersih tangan, bersih alat pemotong tali pusat, dan bersih alas tempat tidur ibu, di samping perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum pendidikan bidan. Selain persalinan yang bersih dan perawatan tali pusat yang tepat, pencegahan tetanus neonatorum dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi TT kepada ibu hamil (Djaja, 2003). Pemberian imunisasi TT minimal dua kali kepada ibu hamil dikatakan sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum (Vandaler, 2003; WHO, 2008).
2.2. Imunisasi Tetanus Toxoid (TT)
2.2.1. Pengertian
Imunisasi TT adalah suntikan vaksin tetanus untuk meningkatkan kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi tetanus (Idanati, 2005).
2.2.2. Manfaat
Manfaat imunisasi TT pada ibu hamil adalah:
a. Dapat melindungi bayi yang baru lahir dari tetanus neonatorum (Chin, 2000).
b. Dapat melindungi ibu hamil terhadap kemungkinan terjadinya tetanus apabila terluka (Depkes RI, 2000).

Kedua-dua manfaat tersebut adalah penting dalam mencapai salah satu tujuan dari program imunisasi secara nasional yaitu, eliminasi tetanus maternal dan tetanus neonatorum (Depkes, 2004).
2.2.3. Jumlah dan Dosis Imunisasi TT untuk Ibu Hamil
Imunisasi TT untuk ibu hamil diberikan 2 kali (Saifuddin, 2001), dengan dosis 0,5 cc disuntikkan secara intramuskuler atau subkutan (Depkes RI, 2000). Sebaiknya imunisasi TT diberikan sebelum kehamilan 8 bulan. Suntikan TT1 dapat diberikan sejak diketahui postif hamil dimana biasanya di berikan pada kunjungan pertama ibu hamil ke sarana kesehatan (Depkes RI, 2000). Jarak pemberian (interval) imunisasi TT1 dengan TT2 adalah minimal 4 minggu (Saifuddin, 2001; Depkes RI, 2005).


2.2.4. Efek Samping
Biasanya hanya terjadi gejala-gejala ringan seperti nyeri, kemerahan dan pembengkakan pada tempat suntikan (Depkes RI, 2000). TT adalah antigen yang sangat aman untuk wanita hamil. Tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT (Saifuddin, 2000). Efek samping tersebut berlangsung 1-2 hari dan akan sembuh sendiri tanpa diperlukan tindakan/pengobatan (Depkes RI, 2000).
2.2.5. Tempat Pelayanan
Pelayanan imunisasi TT dapat dujumpai di:
a. Puskesmas,
b. Puskesmas pebantu,
c. Rumah sakit,
d. Rumah bersalin,
e. Polindes,
f. Posyandu,
g. Rumah sakit swasta,
h. Dokter praktik, dan
i. Bidan praktik (Depkes RI, 2004).
Tempat-tempat pelayanan milik pemerintah imunisasi diberikan dengan gratis.




2.3. Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan pengalaman seseorang dalam melakukan penginderaan terhadap suatu rangsangan tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).
Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan kelangsungvan hidup. Kedalaman pengetahuan yang diperoleh seeorang terhadap suatu rangsangan dapat diklasifikasikan berdasarkan enam tingkatan, yaitu:
a. Tahu (know)
Merupakan suatu proses mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk ke dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu merupakan tingkatan pengalaman yang paling rendah.
b. Memahami (comphrehensive)
Merupakan suatu kemampuan untuk menginterpretasikan atau menjelaskan secara benar objek yang diketahui.
c. Aplikasi (application)
Merupakan suatu kemampuan dalam menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.
d. Analisis (analysis)
Merupakan suatu kemampuan dalam menjabarkan materi atau suatu objek dalam komponen-komponen, dan masih dalam struktur organisasi yang berkaitan antara satu sama lain.

e. Sintesa (synthesis)
Merupakan suatu kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru seperti menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Merupakan suatu kemampuan dalam melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2005).
Selengkapnya...

Minggu, 12 Juni 2011

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERSALINAN PREMATUR NY. X

NEW KTI HUBUNGI HABIB 085741504438

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Peningkatan kesehatan ibu dan bayi di Indonesia adalah salah satu komitmen Departemen Kesehatan melalui penerapan rencana pengurangan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi.1 Penggunaan kedua angka tersebut merupakan indikator yang mengisyaratkan bahwa bila Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) tinggi, maka derajat kesehatan suatu daerah yang bersangkutan rendah. Upaya untuk meningkatkan kualitas manusia harus dimulai sedini mungkin sejak janin dalam kandungan dan sangat tergantung kepada kesejahteraan ibu termasuk kesehatan dan keselamatan reproduksinya. Oleh karena itu upaya meningkatkan status kesehatan ibu dan anak di Indonesia merupakan salah satu program prioritas.
Kematian dan kesakitan pada ibu hamil dan bersalin serta bayi baru lahir sejak lama telah menjadi masalah khususnya di negara berkembang. Semua ibu hamil menghadapi risiko/bahaya terjadinya komplikasi pada persalinan, yang dapat menyebabkan, kesakitan, kecacatan dan kematian bagi ibu dan bayi baru lahir. Menurut World Health Organization (WHO 2006), Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 49 per 1000 kelahiran hidup. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003 Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut tergolong tinggi bila dibandingkan dengan AKB beberapa Negara ASEAN, seperti Vietnam 31 per 1000 kelahiran hidup, Filipina 28 per 1000 kelahiran hidup, Malaysia 8 per 1000 kelahiran hidup dan Singapura 3 per 1000 kelahiran hidup.
Persalinan prematur, terutama yang terjadi sebelum usia gestasi 34 minggu, menyebabkan ¾ dari keseluruhan mortalitas pada neonatus. Angka kematian bayi prematur dan sangat prematur (usia gestasi <32 minggu) lebih tinggi 15 dan 75 kali lipat dibandingkan dengan bayi yang lahir aterm. Bayi prematur yang bertahan hidup akan mengalami morbiditas serius jangka pendek, seperti sindrom distress pernapasan, displasia bronkopulmoner, perdarahan intraventrikuler, retinopati akibat prematuritas, dan jangka panjang, seperti gangguan perkembangan dan gangguan neurologis. Tingkat kelahiran prematur, kelahiran yang terjadi sebelum lengkap usia gestasi 37 minggu, di Amerika Serikat sekitar 12,3% dari keseluruhan 4 juta kelahiran setiap tahunnya, dan merupakan tingkat kelahiran prematur tertinggi di antara negara industri. Prematuritas merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas neonatus. Prematuritas berkaitan dengan morbiditas serta cacat pada anak,dan hampir seluruh kasus gangguan perkembangan neurologis. Selain itu, prematuritas dan bayi berat lahir rendah juga berkaitan dengan kelainan kronik jangka panjang seperti hipertensi dan dislipidemia. Persalinan prematur merupakan sebab kematian neonatal yang terpenting. Hal tersebut dapat terjadi melihat kejadiannya yang kurang lebih 70 % dari semua kelahiran hidup. Diduga adanya pengaruh dari ekonomi karena persalinan prematuri lebih sering terjadi pada golongan dengan penghasilan rendah. Persalinan preterm atau prematur masih merupakan masalah penting dalam obstetri khususnya di bidang perinatologi, karena baik di negara berkembang maupun negara maju penyebab morbiditas dan mortalitas neonatus terbanyak adalah bayi yang lahir preterm. Kira-kira 75% kematian neonatus berasal dari bayi yang lahir preterm atau prematur (Nuada, 2004). Menurut data dunia, kelahiran premature mencapai 75-80 % dari seluruh bayi yang meninggal pada usia kurang dari 28 hari. Data dari WHO (2002) menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan terhadap kematian bayi yang dikenal dengan fenomena 2/3. Pertama, fenomena 2/3 kematian bayi pada usia 0-1 tahunan terjadi pada masa neonatal (bayi berumur 0-28 hari). Kedua, 2/3 kematian bayi pada masa neonatal dan terjadi pada hari pertama. Dewasa ini Indonesia memiliki angka kejadian prematur sekitar 19% dan merupakan penyebab utama kematian perinatal. Kelahiran prematur juga bertanggung jawab langsung terhadap 75 -79 kematian neonatal yang tidak disebabkan oleh kongenital letal. Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 71/1000 kelahiran hidup. Tahun 1995 turun menjadi 51/1000 kelahiran hidup. Dan tahun 1997 menjadi 41,44/1000 kelahiran hidup, sedangkan AKP di Indonesia adalah sekitar 560/100.000 kelahiran hidup (Amiruddin, 2006). Jika diperkirakan kelahiran di Indonesia sebesar 5.000.000 orang per tahun, maka dapat diperhitungkan kematian bayi 56/1000, menjadi sekitar 280.000 per tahun yang artinya sekitar 2,2-2,6 menit bayi meninggal. Sebab-sebab kematian tersebut antara lain asfiksia (49-60%), infeksi (24-34%), BBLR (15-20%), trauma persalinan (2-7%), dan cacat bawaan (1-3%) (Manuaba, 2001). Kejadian persalinan prematur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penelitian yang dilakukan oleh Djaja dkk (2003) menunjukkan bahwa pola penyakit penyebab kematian pada bayi neonatal dini (0-7 hari) lebih banyak oleh masalah prematuritas dan berat badan lahir rendah (35%) serta asfiksia lahir (33,6%). Dalam pelayanan obstetrik, masalah bayi prematur merupakan masalah yang menarik untuk dibahas karena sampai saat ini bayi prematur merupakan faktor dari kematian bayi di Indonesia. Kelahiran bayi prematur merupakan hal yang berbahaya karena potensial meningkatkan kematian bayi sebesar 65-75%, umumnya berkaitan dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). BBLR dapat disebabkan oleh kelahiran prematur dan pertumbuhan janin yang terhambat. Keduanya harus dicegah karena menimbulkan dampak yang negatif, tidak hanya meningkatkan angka morbiditas tetapi juga mortalitas bayi. Bayi prematur mempunyai kesempatan untuk bertahan hidup lebih rendah dan skor intelegensia yang lebih rendah daripada bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir normal. Penyulit-penyulit yang terjadi pada bayi prematur meliputi penyulit jangka pendek berupa sindroma gawat napas bayi baru lahir yang sering berakhir dengan kematian bayi dan penyulit jangka panjang berupa kebutaan, ketulian, kelumpuhan dan keterbelakangan mental. Di samping masalah morbiditas dan mortalitas perinatal, perawatan bayi prematur membutuhkan teknologi kedokteran canggih dan mahal, misalnya Neonatal Insentive Care Unit (NICU) dan akan menjadi beban ekonomi keluarga dan bangsa secara keseluruhan.9,11Bayi prematur pada tahun 1997 di Eropa Barat adalah 5%, di Kalifornia 7,4%, di India 34%, di Australia 7% dan di Malaysia 10%. Indonesia sendiri belum mempunyai angka kejadian bayi prematur nasional, yang ada hanya bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). BBLR bisa mencerminkan kejadian bayi prematur secara kasar, yaitu secara nasional di rumah sakit sebesar 27,9 persen. Di Rumah Sakit …………… pada tahun 1999-2004 terdapat 1,3% bayi prematur dari seluruh persalinan. Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar pada tahun 1999, terdapat 8,65% bayi prematur dari seluruh persalinan. Di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar pada tahun 2002 proporsi kematian bayi prematur adalah 20,51% dari seluruh persalinan, pada tahun 2003 proporsi kematian bayi prematur adalah 23,64% dari seluruh persalinan dan pada tahun 2004 proporsi kematian bayi prematur adalah 38,57% dari seluruh persalinan. Dari hasil survei pendahuluan di Rumah Sakit xxxx, diperoleh angka kelahiran bayi prematur pada tahun 2009-2010 sebanyak ……… dari ……… seluruh persalinan (proporsi …..%), dengan rincian tahun 2009 sebanyak …….. bayi, tahun 2019 sebanyak …….. bayi. Dari sekian angka kelahiran prematur pada pasien di suatu rumah sakit belum ada data mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya persalinan prematur . Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang “Faktor-faktor yang berhubungan dengan persalinan premature Ny. X ”. 1.2. Perumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Apakah ada hubungan umur Ny. “X” dengan persalinan premature ? b. Apakah ada hubungan tingkat pengetahuan Ny. “X” dengan persalinan prematur. ? c. Apakah ada hubungan komplikasi kehamilan Ny. “X” dengan persalinan premature ? d. Apakah ada hubungan tingkat ekonomi Ny. “X” dengan persalinan premature ? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan berhubungan dengan persalinan premature tahun 2011. 1.3.2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya hubungan umur Ny. “X” dengan persalinan prematur b. Diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan Ny. “X” dengan persalinan premature. c. Diketahuinya hubungan komplikasi kehamilan Ny. “X” dengan persalinan premature d. Diketahuinya hubungan Tingkat ekonomi Ny. “X” dengan persalinan premature 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Sebagai bahan masukan bagi pihak Rumah Sakit xxxx tentang persalinan prematur terutama dalam upaya meningkatkan perencanaan pencegahan persalinan prematur dengan pengenalan secara dini karakteristik ibu yang memiliki kemungkinan mengalami persalinan prematur. 1.4.2. Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar ahli madya kebidanan sebagai bahan informasi bagi penelitian yang akan datang yang erat kaitannya dengan persalinan prematur.
Selengkapnya...

KEHAMILAN RESIKO TINGKAT TINGGI

NEW KTI 2011 HUBUNGI HABIB DI 085741504438


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kehamilan adalah sejak dimulainya konsepsi sampai lahirnya janin lamanya hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) (Prawirohardjo, 2002: 89). Kehamilan sebagai keadaan fisiologis dapat diikuti proses patologis yang mengancam keadaan ibu dan janin. Tenaga kesehatan harus dapat mengenal perubahan yang mungkin terjadi sehingga kelainan yang ada dapat dikenal lebih dini. Misalnya perubahan yang terjadi adalah edema tungkai bawah pada trimester terakhir dapat merupakan fisiologis.

Namun bila disertai edema ditubuh bagian atas seperti muka dan lengan terutama bila diikuti peningkatan tekanan darah dicurigai adanya pre eklamsi. Perdarahan pada trimester pertama dapat merupakan fisiologis yaitu tanda Hartman yaitu akibat proses nidasi blastosis ke endometrium yang menyebabkan permukaan perdarahan berlangsung sebentar, sedikit dan tidak membahayakan kehamilan tapi dapat merupakan hal patologis yaitu abortus, kehamilan ektopik atau mola hidatidosa (Mansjor, dkk, 2001: 252).
Manusia pada dasarnya selalu ingin tahu yang benar. untuk memenuhi rasa ingin tahu ini, manusia sejak jaman dahulu telah berusaha mengumpulkan pengetahuan. Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan tersebut diperoleh baik dari pengalaman langsung maupun melalui pengalaman orang lain (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:10).
Mortalitas dan mordibitas pada wanita hamil adalah masalah besar di negara berkembang. Di negara miskin sekitar 25-50 %. Kematian wanita subur usia disebabkan hal yang berkaitan dengan kehamilan. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita muda pada masa puncak produktivitasnya. Tahun 1996 WHO memperkirakan lebih dari 585.000 ibu pertahunnya meninggal saat hamil atau bersalin sebenarnya lebih dari 50% kematian di negara berkembang (Prawirohardjo, 2002: 3).
Ibu hamil di negara-negara Afrika dan Asia selatan menghadapi risiko untuk mengalami kematian saat hamil dan melahirkan sekitar 200 kali lebih besar dibandingkan risiko yang dihadapi ibu di negara maju. Karena angka fertilitas di negara berkembang lebih tinggi maka rentang risiko di Afrika I diantara 6000. tiap tahun terdapat dari 150 juta ibu hamil di negara berkembang. Sekitar 500.000 diantaranya akan meninggal akibat penyebab kehamilan, dan 50 juta lainnya menderita karena kehamilannya mengalami komplikasi (Widyastuti, 2003: 1).
Menempatkan upaya penurunan AKI sebagai program prioritas penyebab langsung kematian ibu di Indonesia seperti halnya di negara lain adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia ke dalam perdarahan dan infeksi sebagai penyebab kematian, sebenarnya tercakup pula kematian akibat abortus terinfeksi dan partus lama. Hanya sekitar 50% kematian ibu disebabkan oleh penyakit yang memburuk akibat kehamilan, misalnya penyakit jantung dan infeksi yang kronis. Keadaan ibu sejak pra hamil dapat mempengaruhi terhadap kehamilannya, penyebab tak langsung kematian ibu ini antara lain adalah amenia, kurang energi kronis (KEK) dan keadaan “4 terlalu “ muda / tua, sering dan banyak (Prawirohardjo, 2003: 6).Menurut survey demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003 AKI di Indonesia berkisar 307/100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (AKB) 35/1.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi baru lahir (Neonatal) sekitar 20/1.000 kelahiran hidup (Depkes RI 2004)
Pada laporan tahunan tahun 2005 Dinas kesehatan Xxx jumlah hamil dengan risiko tinggi baru sebanyak sampai 4088 orang, yaitu di Puskesmas sebanyak 798 orang, di Puskesmas pembantu sebanyak 258 orang, di Polindes sebanyak 2145 orang, di Posyandu sebanyak 378 orang dan di Rumah sebanyak 509 orang.
Jumlah ibu hamil di Polindes xxx Xxx tahun 2005 sebanyak 64 orang, yang tergolong risiko tinggi sebanyak 20 orang (45,6%). Sedangkan yang tidak tergolong risiko tinggi sebanyak 44 orang (54,4%).
Dari hasil survey di atas peneliti ingin mengetahui seberapa pengetahuan ibu hamil tentang kehamilan risiko tinggi, untuk itu peneliti melakukan penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah adalah Bagaimana pengetahuan ibu hamil tentang risiko tinggi kehamilan?



1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui pengetahuan ibu hamil tentang risiko tinggi kehamilan
1.3.2. Tujuan Khusus.
1.3.2.1.Mengidentifikasi karakteristik ibu hamil meliputi umur, pendidikan dan pekerjaan.
1.3.2.2.Mengidentifikasi pengetahuan ibu hamil tentang pengertian, tanda dan macam-macam kehamilan risiko tinggi.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Peneliti
Menambah wawasan baru tentang perawatan antenatal, khususnya pengetahuan ibu hamil tentang kehamilan risiko tinggi.
1.4.2. Bagi Instansi Pendidikan
Sebagai bahan bacaan dan sebagai acuan dalam pembuatan penelitian adik kelas selanjutnya.
1.4.3. Bagi Profesi
Diharapkan dapat memberikan masukan bagi bidan dalam memberikan asuhan kebidanan pada ibu hamil khususnya konseling tentang pengetahuan tentang kehamilan risiko tinggi.
1.4.4. Bagi Masyarakat
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan ibu hamil tentang kehamilan risiko tinggi.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas tentang pengetahuan, kehamilan dan konsep dasar kehamilan risiko tinggi.
2.1 Pengetahuan
2.1.1 Definisi
Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni : indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003: 126).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting akan terbentuknya tindakan seseorang. Karena itu pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003: 127).

2.1.2 Tingkat Pengetahuan.
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu :
2.1.2.1 Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “Tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan rendah, untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
2.1.2.2 Memahami (Compresiension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpul kan, meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan makanan yang bergizi.
2.1.2.3 Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain, misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (Problem Solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

2.1.2.4 Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja : dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

2.1.2.5 Sintesis (Synthesisi)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

2.1.2.6 Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria- kriteria yang telah ada. Misalnya : dapat membandingkan antara anak-anak yang cukup gizi dengan anak-anak yang kekurangan gizi, dapat menafsirkan sebab-sebab ibu-ibu tidak mau ikut KB dan sebagainya.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas (Notoatmodjo, 2003: 128).

2.1.3 Cara Memperoleh Pengetahuan
2.1.3.1 Cara Tradisional untuk Memperoleh Pengetahuan
Cara ini dipakai untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum diketemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara sistimatik dan logis. Cara penemuan pengetahuan ini antara lain :
a. Cara coba-salah ( Trial and Error )
Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu seseorang apabila menghadapi persoalan atau masalah, upaya pemecahannya dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain. Apabila kemungkinan kedua ini gagal pula, maka dicoba kembali dengan kemungkinan ketiga dan seterusnya, sampai masalah tersebut dapat terpecahkan. Itulah sebabnya maka cara ini disebut metode trial (coba) and error (gagal atau salah) atau metode coba-salah / coba-coba.
b. Cara Kekuasaan atau Otoritas
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, banyak sekali kebiasaan-kebiasaan dan tradisi yang dilakukan oleh orang, tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan tersebut baik atau tidak. Misalnya, mengapa ibu yang sedang menyusui harus minum jamu. Dari sejarah kita ketahui dan kita pelajari bahwa kekuasaan raja zaman dulu adalah mutlak, sehingga apapun yang keluar dari mulut raja adalah kebenaran yang mutlak dan harus diterima oleh masyarakat atau rakyatnya. Kebiasaan-kebiasaan ini seolah-olah diterima dari sumbernya sebagai kebenaran yang mutlak. Sumber pengetahuan tersebut dapat berupa pemimpin-pemimpin masyarakat baik formal maupun informal, ahli agama, pemegang pemerintah dan sebagainya. Dengan kata lain pengetahuan tersebut diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas atau kekuasaan ahli ilmu pengetahuan.
c. Berdasarkan Pengalaman Pribadi
d. Pengalaman adalah guru yang baik, demikian bunyi pepatah. Pepatah ini mengandung maksud bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi, maka untuk memecahkan masalah lain yang sama, orang dapat pula menggunakan cara tersebut.
e. Melalui Jalan Pintas
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia. Cara berfikir manusiapun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya, baik melalui induksi maupun deduksi. Induksi dan deduksi pada dasarnya merupakan cara melahirkan pemikiran secara tidak langsung melalui pernyataan-pernyataan yang dikemukakan, kemudian dicari hubungannya sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan itu melalui pernyataan-pernyataan khusus kepada yang umum dinamakan induksi. Sedangkan deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan umum kepada yang khusus. (Notoatmodjo 2002:8).
2.1.3.2 Cara Modern dalam Memperoleh Pengetahuan
Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistimatis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut “metode penelitian ilmiah” atau lebih popular disebut metodologi penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan oleh Francis Balon (1561–1626). Ia adalah seorang tokoh yang mengembangkan metode berfikir induktif. Mula-mula ia mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala alam atau kemasyarakatan kemudian hasil pengamatannya tersebut dikumpulkan dan diklarifikasikan, dan akhirnya diambil kesimpulan umum. Kemudian metode berfikir induktif yang dikembangkan oleh Balon dilanjutkan oleh Deobold Van Dollen. Ia mengatakan bahwa dalam memperoleh kesimpulan dilakukan dengan mengadakan observasi langsung, dan membuat pencatatan-pencatatan terhadap semua fakta sehubungan dengan obyek yang diamatinya. Pencatatan ini mencakup tiga hal pokok, yakni :
a. Segala sesuatu yang positif, yakni gejala tertentu yang muncul pada saat dilakukan pengamatan.
b. Segala sesuatu yang negatif, yakni gejala tertentu yang tidak muncul saat dilakukan pengamatan.
c. Gejala yang muncul secara Gravitasi, yaitu gejala-gejala yang berubah-ubah pada kondisi-kondisi tertentu (Notoatmodjo, 2002: 10)
2.1.4 Karakteristik Ibu Hamil.
2.1.4.1 Umur
Adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat beberapa tahun. Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja dari segi kepercayaan masyarakat yang lebih dewasa akan lebih percaya dari pada orang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman jiwa (Nursalam, 2001).
Menurut Hanafi (2002) umur dibedakan menjadi :
a. Umur <> 30 tahun menghentikan atau mengakhiri kehamilan.
2.1.4.2 Pendidikan
Tingkat pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. (Sarwono, 1992, yang dikutip Nursalam, 2001). Pendidikan adalah salah satu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. (Notoatmodjo, 1993). Pendidikan mempengaruhi proses belajar, menurut IB Marta (1997), makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Pendidikan diklasifikasikan menjadi :
1) Pendidikan tinggi : Akademi / PT
2) Pendidikan sedang : SLTP / SLTA
3) Pendidikan rendah : SD / tidak sekolah
Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun dari media masa. Sebaliknya tingkat pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan dan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Koentjaraningrat, 1997, dikutip Nursalam, 2001). Ketidaktahuan dapat disebabkan karena pendidikan yang rendah, seseorang dengan tingkat pendidikan yang terlalu rendah akan sulit menerima pesan, pencerna pesan dan informasi yang disampaikan (Effendi, 1998).
2.1.4.3 Pekerjaan
Pekerjaan adalah sesuatu yang dikerjakan untuk mendapatkan nafkah atau pencaharian. Masyarakat yang sibuk dengan kegiatan atau pekerjaan sehari-hari akan memiliki waktu yang lebih sedikit untuk memperoleh informasi (Depkes RI, 1996). Dengan adanya pekerjaan seseorang akan memerlukan banyak waktu dan memerlukan perhatian. Masyarakat yang sibuk hanya memiliki sedikit waktu untuk memperoleh informasi, sehingga pengetahuan yang mereka peroleh kemungkinan juga berkurang (Notoatmodjo, 1997).
Pekerjaan diklasifikasikan menjadi :
1. Bekerja : buruh, tani, swasta dan PNS
2. Tidak bekerja
Kehamilan
Masa kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan dibagi dalam 3 triwulan, yaitu triwulan pertama dimulai dari konsepsi sampai 3 bulan, triwulan kedua dari bulan keempat sampai 6 bulan, triwulan ketiga dari bulan ke-7 sampai 9 bulan (Prawiroharjo, 2002: 89).

Konsep Dasar Kehamilan, risiko tinggi
Definisi
Kehamilan risiko tinggi adalah keadaan yang dapat mempengaruhi optimalisasi ibu maupun janin pada kehamilan yang dihadapi (Manuaba, 1998 : 33).

Termasuk Kehamilan Risiko Tinggi
2.3.2.1. Menurut Puji Rochyati (2005)
Keadaan ibu hamil :
a. Terlalu muda, hamil 1<> 35 tahun
b. Terlalu lama hamil lagi ( > 10 tahun )
c. Terlalu cepat hamil lagi ( <> 35 tahun.
d. Terlalu pendek <> 30 th
e. Kuesi oner ordinal 2 Pendidikan
Tingkatan sekolah yang didapatkan berdasarkan pengakuan ibu hamil dalam menjawab kuesioner
Rendah Menengah Tinggi
1. SD,SMP
2. SMA
3. Akademi/PT

Kuesi oner ordinal
Peker jaan
Pernyataan ibu hamil dalam menjawab pertanyaan yang menyatakan pekerjaan
Bekerja
Tidak bekerja
1. Buruh
2. Swasta
3. PNS/TNI
4. Tidak kerja

Kuesi oner Nomi nal
Pengetahuan ibu hamil tentang kehami lan risiko tinggi
Pemahaman ibu hamil tentang kehamilan risiko tinggi berdasarkan hasil menjawab kuesioner
1. Pengetahuan ibu hamil tentang pengertian kehamilan risiko tinggi
2. Pengetahuan ibu hamil tentang tanda-tanda kehamilan risiko tinggi
3. Pengetahuan ibu hamil tentang macam -macam kehamilan risko tinggi
Selengkapnya...

Kamis, 26 Mei 2011

PERILAKU REMAJA PUTRI DALAM PENCEGAHAN SEKS PRANIKAH DI SMAN XXXXXXX

KTI NEW LEBIH KOMPLIT HUBUNGI HABIB : 085 741 504 438


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya adolescentra yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence , seperti yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Awal masa remaja berlangsung kira-kira 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum. Dengan demikian akhir masa remaja merupakan periode yang sangat singkat (Hurlock, 2006).

Masa remaja adalah insan yang mencari sesuatu dalam dirinya, kekalutan dalam menentukan titik identitas diri menyebabkan dia bagaikan meraba gajah dalam gelap. Sesungguhnya dalam diri insan terdiri dari unsur roh, jasad, dan nafsu. Roh merupakan sumber kehidupan yang mengatur pikiran dan hati untuk bertanggungjawab kepada Illahi. Jasad adalah berasal dari tanah dan akhirnya akan kembali ke tempat asalnya. Begitu juga nafsu jika dibawa ke jalan yang lurus, maka luruslah kehidupan kita, jika diikuti maka akan tersesatlah dalam jurang (Manap, 2008).
Generasi remaja memerlukan pengendalian diri karena remaja belum mempunyai pengetahuan yang memadai. Masa remaja banyak menyentuh perasaan seorang remaja sehingga menimbulkan jiwa yang sensitif dan peka terhadap diri dan lingkungannya. Pada usia remaja memerlukan kebebasan emosional dan material. Kematangan dalam tubuh mendorong remaja untuk berdikari dan bebas dalam mengambil keputusan untuk dirinya sehingga remaja terlepas dari emosi orang tua. Banyak orang tua tidak memahami keinginan yang tersimpan di dalam jiwa remaja, sehingga membatasi sikap kepribadian, dan tindakan-tindakan mereka dengan alasan merasa kasihan (Manap, 2008).
Perilaku penyalahgunaan / penyimpangan seksual adalah aktifitas seksual yang ditempuh untuk mendapatkan kenikmatan seks dengan tidak sewajarnya. Biasanya cara yang digunakan oleh remaja tersebut adalah menggunakan objek seks yang tidak wajar (Hanifa, 2007). Kaum remaja yang memasuki masa pubertas dan sedang menuntut ilmu di SMA dan SMP perlu memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi agar dapat menjaga diri terhadap hal-hal yang tidak diinginkan seperti masturbasi, seks pranikah, kehamilan yang tidak diharapkan, pengguguran kandungan, penyakit menular seks (Azwar, 2000).
Tidak menutup kemungkinan angka itu semakin besar mengingat semakin tingginya intensitas perilaku seksual remaja saat ini. Tersedianya berbagai macam sumber informasi mengenai seks adalah salah satunya akan diterimanya secara bebas oleh remaja. Pada gilirannya remaja ini akan mencoba-coba untuk merasakan. Faktor coba-coba ini erat kaitannya dengan dorongan seksual pada masa puber serta pengaruh lingkungan pergaulan, pornografi yang disuguhkan melalui film-film, bacaan, video dan sikap keserbabolehan yang semakin longgar dalam masyarakat mendorong pergeseran norma-norma, sikap dan perilaku seks dikalangan remaja (Manuaba, 2000).
Selengkapnya...

Selasa, 24 Mei 2011

PENGETAHUAN IBU HAMIL TERHADAP INFEKSI TOXOPLASMA DI KLINIK XXX XXX XXX

KTI NEW SEGERA HUBUNGI jika berminat bisa hubungi habib : 085 741 504 438


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Toxoplasma gondii adalah sejenis parasit yang terdapat pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia dan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan nama toxoplasmosis. Indonesia sebagai negara tropik merupakan tempat yang sesuai untuk perkembangan parasit tersebut, ditambah beberapa kondisi yang dapat menunjang perkembangan parasit ini adalah sanitasi lingkungan dan banyaknya sumber penularan terutama kucing dan sebangsanya (Felidae, Adyatma, 1980 : 1990).
Selama ini toxoplasma dianggap hanya diderita oleh wanita hamil, pada hal siapa saja bisa terkena dan terjangkit penyakit ini. Menurut Hendri (2008) diperkirakan 30-60% penduduk dunia terinfeksi toxoplasma gondii. Sekitar 30% penduduk Amerika Serikat positif terhadap pemeriksaan serologis, yang menunjukkan pernah terinfeksi pada suatu saat dalam masa hidupnya (Levin, 1990) dan lebih dari 45% wanita berusia produktif (20-39 tahun) terpapar parasit itu, meski sebagian dari mereka sudah imun.

Di Indonesia angka kejadiannya (ditunjukkan dengan adanya zat anti Toxoplasma gondii) pada manusia adalah 2-63%, pada kucing 35-75%, babi 11-36%, kambing 11-61%, anjing 75%, dan pada ternak lain kurang dari 10% (Ganda Husada, 1995). Adanya agen penyakit toxoplasma di Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Toxoplasma pada kucing maupun hewan ternak dan bahkan hewan liar merupakan sumber penularan pada manusia.
Menurut Gilbert (2001) dalam Indrawati (2002) bahwa ibu hamil yang menderita toxoplasma 25% akan menularkan ke janinnya. Penularan toxoplasma kongenital terjadi apabila infeksi pada saat gestasi dan menyebabkan abortus pada trimester pertama kehamilan (Smith dan Rebuck, 2001).
Menurut Widjanarko (2009), resiko penularan terhadap janin pada trimester pertama adalah 15%, pada trimester kedua 25% dan pada trimester ketiga 65%. Namun derajat infeksi terhadap janin paling besar adalah bila infeksi terjadi pada trimester pertama. Sekitar 75% kasus yang terinfeksi tidak memperlihatkan gejala saat persalinan namun 25-50% bayi yang dilahirkan akan mengalami hidrosefalus, korioretinitis, mikrosefali, mikroptalmia, hepatosplenomegali, klasifikasi serebral, adepati, konvulsi dan perkembangan mental terganggu. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pencegahan terhadap infeksi toxoplasma gondii perlu dilakukan terutama bagi wanita yang ingin hamil sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat pengetahuan wanita usia subur tentang infeksi toxoplasma.
Pada tahun 1974, dimulai pemeriksaan toxoplasma pada manusia di Surabaya. Hasil pemeriksaan 573 serta orang sehat yang terdiri atas 440 orang pendonor darah sukarela dan 133 lainnya terdiri atas siswa, teknisi, pegawai kantor, laboran, dan anak-anak dari laboran. Satu anak (7 %) dari 14 anak umur 1-9 tahun yang diperiksa ternyata positif. Prevalensi antibodi positif toxoplasma laki-laki lebih tinggi daripada wanita pada kelompok umur di bawah 40 tahun tetapi tidak ada perbedaan keduanya pada kelompok umur 40-49 tahun.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah tingkat pengetahuan ibu hamil terhadap infeksi toxoplasma di Klinik XXX Tahun 2010.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil terhadap infeksi toxoplasma di Klinik XXXX.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui pengetahuan ibu hamil pengertian, cara penularan, tanda dan gejala serta pencegahan infeksi toxoplasma di Klinik XXXX berdasarkan pengertian.
D. Manfaat Penelitian
1. Praktek Kebidanan
Sebagai masukan atau informasi dalam meningkatkan pengetahuan ibu hamil terhadap infeksi toxoplasma.
2. Institusi Pendidikan
Hasil penelitian diharapkan akan bermanfaat bagi mahasiswa D-IV Bidan pendidik khususnya yang berkaitan dengan infeksi toxoplasma.
3. Bagi Penelitian Kebidanan
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai informasi pada penelitian berikutnya tentang infeksi toxoplasma.
Selengkapnya...

Senin, 23 Mei 2011

PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PENDIDIKAN SEKS PADA REMAJA DI SMA XXX

UNTUK LEBIH LENGKAPNYA HUBUNGI HABIB : 085 741 504 438

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Perubahan tubuh disertai dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual primer dan karakteristik seksual sekunder. Yang dimaksud perubahan seks primer ialah perubahan-perubahan organ seksual yang semakin matang sehingga dapat berfungsi untuk melakukan proses reproduksi, dimana seorang individu dapat melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis dan dapat memperoleh keturunan anak.

Misalnya testis, kelenjar prostat, penis (remaja laki-laki); vagina, ovarium, uterus (remaja wanita) sedangkan perubahan seks sekunder ialah perubahan tanda-tanda identitas seks seseorang yang diketahui melalui penampakan postur fisik akibat kematangan seks primer. Untuk remaja laki-laki misalnya : jakun, bentuk tubuh (segitiga), suara membesar, kumis, jenggot, sedangkan remaja wanita misalnya : kulit halus, bentuk tubuh (guitar body), suara melengking tinggi dan rambut kemaluan pada vagina (Dariyo, 2004).
Mengenai para remaja yang telah mencapai usia baligh dan kecenderungan seksual mereka yang mulai muncul, kelenjar-kelenjar seksual mulai beraktifitas dan memproduksi hormon-hormon yang menyebabkan terjadinya perubahan fisik dan kejiwaan pada para remaja. Hal tersebut mendapatkan sebuah kondisi yang mungkin sangat sulit untuk dihadapi oleh sebagian orang tua dan pendidik. Perubahan kecenderungan terhadap lawan jenis dan kadang kecenderungan pada penyimpangan akan tampak, dan masalah ini sampai batas-batas tertentu akan menyibukkan benak dan pikiran mereka. Dari sisi ini, mereka tidak mengetahui reaksi yang seharusnya mereka tunjukkan dan cara bersikap terhadap kebutuhan dalam diri mereka (Samadi, 2004).
Para remaja mulai merasakan cinta, tetapi agama menjadi penghalang dan pembatas, begitu juga akhlak serta aturan-aturan. Ketika dihadapkan pada masalah ini, terkadang mereka pura-pura tidak tahu, tidak sadar, dan mengesampingkan aturan-aturan serta akibat-akibat dari penyimpangan. Tidak adanya pengetahuan terhadap masalah-masalah kehidupan sosial dan balig menimbulkan masalah-masalah yang beragam, seperti menjerumuskan diri pada kemaksiatan, kematian, dan bunuh diri. Semakin besar perhatian dan pengawasan dalam permasalahan ini, maka semakin tertutuplah jalan menuju penyimpangan (Samadi, 2004).
Akses internet yang sangat mudah dari berbagai media informasi yang dapat di peroleh dengan sangat mudah baik dari internet, Hp, buku komek dewasa televisi, sinitron, film, CD, play station, serta media lainya menyerbu anak-anak yang di kemas sedemikian rupa sehingga perguatan seks di anggap lumprah dan menyenangkan.(bogspot.com.2008)
Orang tua adalah pihak utama yang bertanggung jawab terhadap keselamatan putra dan putrinya dalam menjalani tahapan-tahapan fisik emosional, intelektual social, yang harus mereka lalui dari anak-anak hingga mereka dewasa tanggung jawab orang tua tidak hanya mencakup atau terbatasi dengan kebutuhan materi saja tetapi sesungguhnya mencakup juga kepada seluruh aspek kehidupan anaknya, termasuk di dalamnya aspek pendidikan seksual.
Pendidikan seks bagi remaja adalah masalah yang sangat penting, karena kejiwaan para remaja hari demi hari, disertai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, ekonomi, dan keberhasilan-keberhasilan dunia saat ini–menanggung beban yang lebih besar. Dalam buku-buku kedokteran, umumnya dinyatakan bahwa pendidikan seks bermakna pengajaran seks. Pendidikan seks memiliki makna yang lebih luas. Pendidikan tidak hanya meliputi hal-hal yang bersifat seksual, tetapi memiliki kekhususan, seperti perkembangan kepribadian secara sosial, akhlak, dan budaya (Samadi, 2004).
Selama ini orang tua menganggap pendidikan seksual adalah hal yang tabu, selain itu orang tua menganggap bahwa remaja yang mengetahui lebih banyak informasi tentang seksual akan meningkatkan penasaran dan keberanian untuk mempraktekkan. Orang tua enggan membicarakan pendidikan seksual karena tidak tahu bagaimana cara menyampaikan pendidikan seks (Handayani, 2005).
Studi pendahuluan yang di lakukan pada SMA XXX. yang terbagi menjadi 3 tingkat yaitu tingkat X di bagi menjadi 5 kelas dimana dalam 1 kelas terdiri dari 40 siswa. Tingkat XI, di bagi menjadi 4 kelas yaitu 2 kelas IPA terdiri dari 36 siswa, 2 kelas IPS terdiri dari 40 siswa, untuk tingkat XII di bagi menjadi 4 kelas yaitu 2 kelas IPA, 2 kelas IPS. Dengan memberikan 2 pertanyaan tentang pendidikan seks pada 6 siswa dari kelas XI, dimana meraka ber pendapat bahwa pendidikan seks tidak pernah di berikan oleh orang tuanya, dengan alasan berbeda-beda yang dapat menimbulkan persepsi yang berbeda pula apabila meraka tidak mengetahui mengenai perilaku seksual. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang diperoleh, maka penelitin tertarik melakukan penelitiann di SMA XXX., Dengan judul persepsi Orang tua tentang pendidikan seks pada remaja.

B. Perumusan Masalah
Informasi yang salah tentang pendidikan seksual pada remaja dapat menimbulkan persepsi yang salah, hal ini akan menyebabkan remaja memiliki perilaku seksual yang tidak sehat, orang tua adalah pihak yang pas untuk memberikan informasi tentang seksual pada anak melalui pendidikan seksual. Pendidikan seksual adalah sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Berdasarkan latar belakang di atas didapatkan masalah : persepsi orangtua tentang pendidikan seksual para remaja di SMU XXX.

C. Tujuan Penelitian
1). Tujuan Umum Penelitian
Mengetahui persepsi orang tua tentang pendidikan seksual pada remaja.
2). Tujuan Khusus Penelitian
a). Mengetahui karakteristik orang tua tentang pendidikan seks pada remaja di SMU XXX.
b). Mendeskripsikan persepsi orang tua remaja tentang pendidikan seks di SMU XXX.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pihak antara lain:
1). Tenaga Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai masukan bagi tenaga kesehatan dalam memberikan pendidikan seks pada remaja.
2). Bagi Orangtua
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran pada orang tua tentang pendidikan seks pada anak remajanya.
3). Bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi bagi penelti selanjutnya khususnya tentang persepsi orang tua tentang pendidikan seks pada remaja.
4). Bagi Masyarakat
Dapat memberikan sumbangan yang berkaitan dengan pendidikan seks pada remaja.
5). Bagi Peneliti
Penelitian ini sangat berguna untuk menambah pengalaman dalam penelitian sebagai bahan penerapan Ilmu yang di dapat selama perkuliahan khususnya mata kuliah metodologi penelitian.
Selengkapnya...