Pages

Selasa, 14 Juni 2011

GAMBARAN PENGETAHUAN IBU-IBU HAMIL TENTANG IMUNISASI TETANUS TOXOID (TT) DAN TINDAKAN PENGAMBILAN IMUNISASI TT DI POLIKLINIK IBU HAMIL RSUP XXXXX

NEW KTI 2011 HUBUNGI HABIB 085741504438

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada tahun 2000, The United Nations Children's Fund (UNICEF), World Health Organization (WHO), dan United Nation Population Fund (UNFPA) telah mengenal pasti terdapat 57 negara perlu mengeliminasi kejadian tetanus neonatorum di negara mereka; salah satunya adalah Indonesia (WHO, 2010). WHO mengestimasikan 59.000 neonatus seluruh dunia mati akibat tetanus neonatorum. Oleh itu, UNICEF, WHO dan UNFPA setuju mengulur eliminasi hingga 2005. Target eliminasi tetanus neonatorum adalah satu kasus per seribu kelahiran di masing-masing wilayah dari setiap Negara.
Pada tahun 2007, Filipina dan Indonesia mencatatkan jumlah kasus tetanus neonatorum tertinggi di antara 8 buah negara ASEAN. Jumlah penderita di kedua-dua negara tersebut melebihi 100 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, angka tertinggi kasus tetanus neonatorum terjadi di Kemboja; Indonesia menduduki urutan ke-5. Jumlah kasus tetanus neonatorum di Indonesia pada tahun 2003 sebanyak 175 kasus dengan angka kematian (case fatality rate(CFR)) 56% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI), 2008).
Pada tahun 2000, Pemerintah Indonesia telah bersetuju mengikuti kesepakatan internasional (Global Commitment) untuk menurunkan insiden kematian bayi akibat tetanus neonatorum dengan Program Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN). Untuk mempercepatkan pencapaian ETN di Indonesia, imunisasi tenatus toxoid (TT) telah diberikan kepada wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil di daerah yang berisiko tinggi dengan kejadian tetanus neonatorum yang telah dikenal pasti sejak tahun 1996. Upaya akselerasi eliminasi tetanus neonatorum ditargetkan dapat menurunkan inseden tetanus neonatorum hingga kurang 1 per 1000 kelahiran hidup per tahun pada tahun 2005. Namun, sampai sekarang kejadian tetanus neonatorum masih tidak dapat diatasi (Depkes RI, 2000).
Walaupun program telah dilaksanakan, jangkauan imunisasi TT bagi ibu hamil masih jauh dari harapan. Terbukti, dari 356.231 estimasi ibu hamil pada tahun 2009 di Sumatera Utara, ternyata hanya 57.804 ibu hamil mendapat imunisasi TT1 dan 49.992 ibu hamil mendapat imunisasi TT2. Antara faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya jangkauan imunisasi TT adalah kurangnya kegiatan promisi kesehatan di Puskesmas serta rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap imunisasi TT walaupun imunisasi tersebut dapat diperoleh secara gratis di tempat pelayanan kesehatan pemerintah (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL), 2009).

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperlukan satu penelitian yaitu, “Bagaimanakah gambaran pengetahuan ibu-ibu hamil dan tentang imunisasi TT dan tindakan pengambilan imunisasi TT di poliklinik ibu hamil RSUP. XXXX?”.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu-ibu hamil tentang imunisasi TT dan tindakan pengambilan imunisasi TT di poliklinik ibu hamil RSUP. xxxxxx.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi TT berdasarkan usia kehamilan yang datang ke poiliklinik RSUP. xxxxxxxxxxx.
2. Mengetahui tingkat pengetahuan ibu-ibu hamil mengenai manfaat imunisasi TT.
3. Mengetahui tindakan ibu-ibu hamil tentang pengambilan imunisasi TT berdasarkan usia kehamilan.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi kepada Dinas Kesehatan Kota xxx sebagai strategi penyuluhan terhadap ibu-ibu hamil mengenai kepentingan imunisasi TT.
2. Sebagai bahan masukan kepada peneliti lain mengenai tahap pengetahuan ibu-ibu hamil mengenai imunisasi TT di RSUP. xxxx.
3. Penelitian ini dapat memberi manfaat pada bahagian obstetrik.














BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tetanus Neonatorum
2.1.1. Pengertian
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari (Stoll, 2007). Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani, dengan tanda utama kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran (Ismoedijanto, 2006). Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus yang disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu bakteria yang mengeluarkan toksin (racun) yang menyerang sistem saraf pusat (Saifuddin, 2001).
2.1.2. Etiologi
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikron yang hidup tanpa oksigen (anaerob), dan membentuk spora. Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulat yang letaknya di ujung, dan memberi gambaran penabuh genderang (drum stick) (Bleck, 2000). Spora ini mampu bertahan hidup dalam lingkungan panas, antiseptik, dan di jaringan tubuh. Spora ini juga bisa bertahan hidup beberapa bulan bahkan bertahun. (Ritarwan, 2004). Bakteria yang berbentuk batang ini sering terdapat dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa terkena luka melalui debu atau tanah yang terkontaminasi (Arnon, 2007). Clostridium tetani merupakan bakteria Gram positif dan dapat menghasilkan eksotoksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin) dapat menyebabkan kekejangan pada otot (Suraatmaja, 2000).




2.1.3. Faktor Risiko
Terdapat 5 faktor risiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu:
a. Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan memyebabkan Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita dengan gejala tetanus sering mempunyai riwayat tinggal di lingkungan yang kotor. Penjagaan kebersihan diri dan lingkungan adalah amat penting bukan sahaja dapat mencegah tetanus, malah pelbagai penyakit lain.
b. Faktor Alat Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku di negara-negara berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan pertolongan persalinan masih menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir (WHO, 2008).
c. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan abu dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akan dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril sebagai salah satu ritual untuk menyambut bayi yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang tidak benar ini akan meningkatkan lagi risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum (Chin, 2000).
d. Faktor Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan
Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah sangat penting. Tempat pelayanan persalinan yang tidak bersih bukan sahaja berisiko untuk menimbulkan penyakit pada bayi yang akan dilahirkan, malah pada ibu yang melahirkan. Tempat pelayanan persalinan yang ideal sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril (Abrutyn, 2008).

e. Faktor Kekebalan Ibu Hamil
Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus dapat membantu mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi baru lahir. Antibodi terhadap tetanus dari ibu hamil dapat disalurkan pada bayi melalui darah, seterusnya menurunkan risiko infeksi Clostridium tetani. Sebagian besar bayi yang terkena tetanus neonatorum biasanya lahir dari ibu yang tidak pernah mendapatkan imunisasi TT (Chin, 2000).
2.1.4. Patogenesis
Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril akan memudahkan spora Clostridium tetani masuk dari luka tali pusat dan melepaskan tetanospamin. Tetanospamin akan berikatan dengan reseptor di membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian bergerak melalui sistem transpor aksonal retrograd melalui sel-sel neuron hingga ke medula spinalis dan batang otak, seterusnya menyebabkan gangguan sistim saraf pusat (SSP) dan sistim saraf perifer (Arnon, 2007). Gangguan tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi, yaitu asam aminobutirat gama (GABA) dan glisin, sehingga terjadi epilepsi, yaitu lepasan muatan listrik yang berlebihan dan berterusan, sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dari otak ke bagian-bagian tubuh terganggu (Abrutyn, 2008). Ketegangan otot dapat bermula dari tempat masuk kuman atau pada otot rahang dan leher. Pada saat toksin masuk ke sumsum tulang belakang, kekakuan otot yang lebih berat dapat terjadi. Dijumpai kekakuan ekstremitas, otot-otot dada, perut dan mulai timbul kejang. Sebaik sahaja toksin mencapai korteks serebri, penderita akan mengalami kejang spontan. Pada sistim saraf otonom yang diserang tetanospasmin akan menyebabkan gangguan proses pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, pencernaan, perkemihan, dan pergerakan otot. Kekakuan laring, hipertensi, gangguan irama jantung, berkeringat secara berlebihan (hiperhidrosis) merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom. Kejadian gejala penyulit ini jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala tersebut timbul (Ismoedijanto, 2006).
2.1.5. Gejala Klinis
Neonatus yang terinfeksi Clostridium tetani masih menunjukkan perilaku seperti menangis dan menyusui seperti bayi yang normal pada dua hari yang pertama. Pada hari ke-3, gejala-gejala tetanus mula kelihatan. Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3 – 12 hari, namun dapat mecapai 1 – 2 hari dan kadang-kadang lama melebihi satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, serta interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; semakin jauh tempat invasi, semakin panjang masa inkubasi. Gejala klinis yang sering dijumpai pada tetanus neonatorum adalah:
a. Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga penderita sukar membuka mulut. Kekakuan otot pada leher lebih kuat akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut sedikit ternganga. Kadang-kadang dapat dijumpai mulut mecucu seperti mulut ikan dan kekakuan pada mulut sehingga bayi tak dapat menetek (Chin, 2000).
b. Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi kelihatan mengerut, mata bayi agak tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik ke samping dan ke bawah.
c. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Jika dibiarkan secara berterusan tanpa rawatan, bisa terjadi fraktur tulang vertebra.
d. Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding perut teraba seperti papan. Selain otot dinding perut, otot penyangga rongga dada (toraks) juga menjadi kaku sehingga penderita merasakan kesulitan untuk bernafas atau batuk. Jika kekakuan otot toraks berlangsung lebih dari 5 hari, perlu dicurigai risiko timbulnya perdarahan paru.
e. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan akibat kekakuan yang terus-menerus dari otot laring yang bisa menimbulkan sesak nafas. Efek tetanospamin dapat menyebabkan gangguan denyut jantung seperti kadar denyut jantung menurun (bradikardia), atau kadar denyut jantung meningkat (takikardia). Tetanospasmin juga dapat menyebabkan demam dan hiperhidrosis. Kekakuan otot polos pula dapat menyebabkan anak tidak bisa buang air kecil (retensi urin).
f. Bila kekakuan otot semakin berat, akan timbul kejang-kejang umum yang terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya. Lambat laun, “masa istirahat” kejang semakin pendek sehingga menyebabkan status epileptikus, yaitu bangkitan epilepsi berlangsung terus menerus selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselangi oleh masa sedar; seterusnya bisa menyebabkan kematian (Ningsih, 2007).
2.1.6. Pencegahan
Tindakan pencegahan serta eliminasi tetanus neonatorum adalah bersandarkan pada tindakan menurunkan atau menghilangkan faktor-faktor risiko. Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan. Pemotongan dan perawatan tali pusat wajib menggunakan alat yang steril (WHO, 2006). Pengendalian kebersihan pada tempat pertolongan persalinan perlu dilakukan dengan semaksimal mungkin agar tidak terjadi kontaminasi spora pada saat proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat dilakukan. Praktik 3 Bersih perlu diterapkan, yaitu bersih tangan, bersih alat pemotong tali pusat, dan bersih alas tempat tidur ibu, di samping perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum pendidikan bidan. Selain persalinan yang bersih dan perawatan tali pusat yang tepat, pencegahan tetanus neonatorum dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi TT kepada ibu hamil (Djaja, 2003). Pemberian imunisasi TT minimal dua kali kepada ibu hamil dikatakan sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum (Vandaler, 2003; WHO, 2008).
2.2. Imunisasi Tetanus Toxoid (TT)
2.2.1. Pengertian
Imunisasi TT adalah suntikan vaksin tetanus untuk meningkatkan kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi tetanus (Idanati, 2005).
2.2.2. Manfaat
Manfaat imunisasi TT pada ibu hamil adalah:
a. Dapat melindungi bayi yang baru lahir dari tetanus neonatorum (Chin, 2000).
b. Dapat melindungi ibu hamil terhadap kemungkinan terjadinya tetanus apabila terluka (Depkes RI, 2000).

Kedua-dua manfaat tersebut adalah penting dalam mencapai salah satu tujuan dari program imunisasi secara nasional yaitu, eliminasi tetanus maternal dan tetanus neonatorum (Depkes, 2004).
2.2.3. Jumlah dan Dosis Imunisasi TT untuk Ibu Hamil
Imunisasi TT untuk ibu hamil diberikan 2 kali (Saifuddin, 2001), dengan dosis 0,5 cc disuntikkan secara intramuskuler atau subkutan (Depkes RI, 2000). Sebaiknya imunisasi TT diberikan sebelum kehamilan 8 bulan. Suntikan TT1 dapat diberikan sejak diketahui postif hamil dimana biasanya di berikan pada kunjungan pertama ibu hamil ke sarana kesehatan (Depkes RI, 2000). Jarak pemberian (interval) imunisasi TT1 dengan TT2 adalah minimal 4 minggu (Saifuddin, 2001; Depkes RI, 2005).


2.2.4. Efek Samping
Biasanya hanya terjadi gejala-gejala ringan seperti nyeri, kemerahan dan pembengkakan pada tempat suntikan (Depkes RI, 2000). TT adalah antigen yang sangat aman untuk wanita hamil. Tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT (Saifuddin, 2000). Efek samping tersebut berlangsung 1-2 hari dan akan sembuh sendiri tanpa diperlukan tindakan/pengobatan (Depkes RI, 2000).
2.2.5. Tempat Pelayanan
Pelayanan imunisasi TT dapat dujumpai di:
a. Puskesmas,
b. Puskesmas pebantu,
c. Rumah sakit,
d. Rumah bersalin,
e. Polindes,
f. Posyandu,
g. Rumah sakit swasta,
h. Dokter praktik, dan
i. Bidan praktik (Depkes RI, 2004).
Tempat-tempat pelayanan milik pemerintah imunisasi diberikan dengan gratis.




2.3. Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan pengalaman seseorang dalam melakukan penginderaan terhadap suatu rangsangan tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).
Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan kelangsungvan hidup. Kedalaman pengetahuan yang diperoleh seeorang terhadap suatu rangsangan dapat diklasifikasikan berdasarkan enam tingkatan, yaitu:
a. Tahu (know)
Merupakan suatu proses mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk ke dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu merupakan tingkatan pengalaman yang paling rendah.
b. Memahami (comphrehensive)
Merupakan suatu kemampuan untuk menginterpretasikan atau menjelaskan secara benar objek yang diketahui.
c. Aplikasi (application)
Merupakan suatu kemampuan dalam menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.
d. Analisis (analysis)
Merupakan suatu kemampuan dalam menjabarkan materi atau suatu objek dalam komponen-komponen, dan masih dalam struktur organisasi yang berkaitan antara satu sama lain.

e. Sintesa (synthesis)
Merupakan suatu kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru seperti menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Merupakan suatu kemampuan dalam melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2005).